TERJADINYA NEGARA
Mengenai
terjadinya negara ini banyak para sarjana memberikan pendapat yang
beragam. Terjadinya negara berhubungan dengan asal usul negara itu
dibentuk, didirikan, dan dijalankan. Oleh karena beragamnya pendapat
dari para sarjana tentang terjadinya negara atau asal usul negara, maka
menimbulkan berbagai teori tentang terjadinya negara, antara lain: teori
ketuhanan, teori perjanjian, teori kekuasaan, teori alamiah, dan
sebagainya. Penjelasan singkat masing-masing tersebut adalah sebagai
berikut:
- Teori ketuhanan (teori theokrasi)
Menurut teori ketuhanan, terbentuknya negara atas kehendak Tuhan.
Adanya negara karena dikehendaki oleh Tuhan. Suatu negara tidak ada jika
Tuhan tidak menghendaki. Penguasa atau raja-raja yang memimpin dan
memerintah negara adalah penjelmaan dewa-dewa. Kekuasaan seorang raja
diperoleh dari Tuhan. Kekuasaan Tuhan dipindahkan kepada raja. Negara
dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Pemimpin
negara atau raja hanya bertanggung jawab kepada Tuhan tidak kepada siapa
pun. Tokoh teori ketuhanan ini adalah Friedrich Julius Stahl dengan
bukunya Die Philosophie des Recht. Thomas Aquinas menganggap Tuhan
sebagai landasan dari semua kekuasaan. Meskipun Tuhan memberikan
landasan atau dasar kepada penguasa, namun rakyat menentukan modus atau
bentuknya yang tetap dan bahwa rakyat pulalah yang memberikan kepada
seseorang atau segolongan orang mempergunakan kekuasaan itu (F. Isjwara,
1999: 152-153).
- Teori perjanjian
Menurut teori perjanjian, negara dibentuk dari perjanjian
antarorang-orang yang hidup di dalamnya untuk mengadakan suatu
organisasi yang dapat menyelenggarakan kehidupan bersama. Teori
perjanjian ini dikenal sebagai teori kontrak sosial.
Tokoh teori perjanjian ini antara lain Thomas Hobbes (F.
Isjwara, 1990: 142) yang mengikuti jalan pikiran teori perjanjian ini,
bahwa kehidupan manusia terbagi dalam dua keadaan yang terpisah yakni
keadaan sebelum ada negara dan keadaan bernegara. Keadaan sebelum ada
negara merupakan keadaan alamiah. Keadaan alamiah merupakan keadaan yang
tidak aman, tidak adil, keadaan kacau di mana manusia yang satu
menindas manusia yang lain. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Hukum
dibuat oleh mereka yang keadaan fisiknya kuat. Dalam keadaan alamiah
manusia yang satu memangsa manusia yang lain. Keadaan demikian
dilukiskan sebagai “homo homini lupus” (manusia yang satu menjadi
binatang buas bagi manusia yang lain), manusia yang satu saling
bermusuhan dengan manusia yang lain. Namun dengan akalnya manusia
mengerti dan menyadari demi kelangsungan hidup, keadaan kacau ini harus
diakhiri, kemudian mereka melakukan perjanjian bersama. Para individu
berjanji untuk menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada
seseorang atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur kehidupan
mereka. Dalam keadaan demikian maka terbentuklah negara yang dianggap
mengakhiri keadaan kacau sebagaimana dialami individu pada keadaan
alamiah. Namun dengan perjanjian saja tidaklah cukup. Negara harus
berkuasa penuh sebagaimana binatang buas yang menaklukkan binatang buas
lainnya. Negara harus diberi kekuasaan yang mutlak, kekuasaan yang tidak
dapat ditandingi dan disaingi oleh kekuasaan apa pun. Oleh karena itu,
Thomas Hobbes kemudian menyatakan bahwa negara yang dibuat berdasarkan
perjanjian masyarakat harus berbentuk monarkhi (kerajaan) karena
dianggap bahwa negara yang berbentuk negara kerajaan yang mutlaklah yang
dapat menjalankan pemerintahan dengan baik.
John Locke (F. Isjwara, 1990: 144-146) menganggap bahwa keadaan
alamiah merupakan keadaan di mana manusia hidup bebas menurut
kehendaknya sendiri. Keadaan alamiah menurut John Locke sudah bersifat
sosial, karena manusia hidup rukun dan tenteram sesuai dengan hukum akal
yang mengajarkan manusia tidak boleh mengganggu hidup, kesehatan,
kebebasan dan milik manusia lainnya. Namun keadaan alamiah ini menurut
John Locke juga potensi untuk dapat menimbulkan anarkhi, kekacauan,
karena manusia hidup tanpa orang atau organisasi yang mengatur kehidupan
mereka. Dalam keadaan alamiah semua manusia memiliki kedudukan yang
sederajat, baik untuk kekuasaan maupun hak-haknya sehingga dalam
berhubungan dengan manusia lain sangat potensial untuk menimbulkan
konflik dan kekacauan karena perbuatan sekehendak hatinya yang merasa
sederajat. Oleh karena itu, manusia membentuk negara dengan suatu
perjanjian bersama. Perjanjian yang dilakukan adalah menyerahkan kepada
seseorang atau kelompok orang untuk mengatur kehidupan bersama dengan
kekuasaan yang tidak mutlak, karena individu-individu dalam melakukan
perjanjian tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiahnya, seperti hak-hak
alamiah yang merupakan hak-hak asasi sebagai hak-hak kodrat tidak dapat
dilepaskan dan penguasa yang diserahi tugas mengatur kehidupan bersama
harus menghormati hak-hak asasi itu. Bahkan menurut John Locke, fungsi
utama dari perjanjian masyarakat adalah untuk menjamin dan melindungi
hak-hak kodrat. Oleh karena itu, John Locke menghendaki negara yang
dibentuk berdasarkan perjanjian masyarakat berbentuk kerajaan
konstitusional dan bukan negara absolut tanpa batas-batas.
Jean Jacque Rousseau (F. Isjwara, 1990: 147-149) mengemukakan bahwa
zaman pranegara atau keadaan alamiah diumpamakan sebagai keadaan sebelum
manusia melakukan dosa, sebagai suatu keadaan yang aman dan bahagia.
Dalam keadaan alamiah, hidup individu bebas dan sederajat. Semua yang
dilakukan individu-individu atas dasar kepercayaan dan belas kasihan
bagi sesamanya. Namun manusia juga sadar akan adanya ancaman atas hidup
dan kebahagiaannya dalam keadaan alamiah yang lama-kelamaan akan semakin
besar, sehingga dengan penuh kesadarannya manusia ingin mengakhirinya
dengan mengadakan suatu perjanjian masyarakat atau “kontrak sosial”
dengan seorang atau sekelompok orang yang diberi kekuasaan penuh untuk
mengatasi penghalang-penghalang bagi kemajuan pemenuhan kebutuhan hidup
atas dasar kemauan umum. Dengan perjanjian masyarakat maka
berlangsunglah peralihan dari keadaan alamiah ke keadaan bernegara.
Dalam kondisi demikian manusia terbelenggu di mana-mana. Negara yang
dibentuk menyatakan kemauan umumnya yang tidak khilaf, keliru atau
salah. Negara merupakan organisasi politik yang dibentuk dengan kontrak.
Pemerintah sebagai pimpinan organisasi politik dibentuk dan ditentukan
oleh yang berdaulat dan merupakan wakil-wakilnya. Yang berdaulat adalah
rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya. Kemauan umum selalu benar dan
ditujukan untuk kebahagiaan bersama. Oleh karenanya J.J. Rousseau
menghendaki organisasi negara itu berdasarkan kedaulatan rakyat (Solly
Lubis, 1990: 26).
- Teori kekuasaan
Menurut teori kekuasaan, terjadinya negara karena dibentuk oleh
mereka yang memiliki kekuatan atau yang paling kuat di antara
orang-orang yang ada, atau negara dibentuk dari kekuasaan yang kuat
terhadap yang lemah. Negara terbentuk dari penaklukan dan pendudukan.
Kekuasaan menjadi sumber pencipta negara. Yang kuat memerintah yang
lemah.
Beberapa ahli telah mengemukakan pendapatnya tentang teori kekuasaan ini, antara lain:
- Marx menyatakan bahwa negara adalah hasil pertarungan antara kekuatan-kekuatan ekonomis dan negara merupakan alat pemeras bagi mereka yang lebih kuat terhadap yang lemah dan negara akan lenyap kalau perbedaan kelas itu tidak ada lagi (Solly Lubis, 1990: 38).
- Harold J. Laski menyatakan bahwa setiap pergaulan hidup memerlukan organisasi pemaksa untuk menjamin kelanjutan hubungan produksi yang tetap, sebab bila tidak demikian maka pergaulan hidup takkan dapat menjamin nafkahnya (Solly Lubis, 1990: 40).
- Duguit menyatakan bahwa yang dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak lainnya adalah mereka yang paling kuat, yang memiliki faktor-faktor, misalnya keistimewaan fisik, otak (intelegensia, kecerdasan), ekonomi, dan agama (Solly Lubis, 1990: 40).
- Jellinek menyatakan bahwa negara adalah kesatuan yang dilengkapi dengan “herrschenmacht” yaitu kuasa memerintah bagi orang-orang yang ada di dalamnya dan bahwa memerintah adalah mampu memaksakan kemauannya sendiri terhadap orang-orang lain dan paksaan yang tanpa tawar-menawar (Solly Lubis, 1990: 40).
- Teori alamiah
Tokoh utama teori alamiah ini adalah Aristoteles. Menurut
Aristoteles, negara adalah ciptaan alam. Kodrat manusia membenarkan
adanya negara, karena pada awalnya manusia itu adalah makhluk politik
(zoon politicon) yang kemudian dalam perkembangannya menjadi makhluk
sosial. Karena itulah manusia ditakdirkan untuk hidup bernegara. Yang
dimaksud manusia sebagai zoon politicon oleh Aristoteles adalah bahwa
manusia akan menjadi manusia yang baik dan sempurna apabila manusia itu
hidup dalam ikatan kenegaraan (F. Isjwara, 1990: 159). Negara adalah
organisasi yang rasional dan ethis yang memungkinkan manusia mencapai
tujuan hidupnya yang lebih baik dan adil. Yang dimaksud negara oleh
Aristoteles dalam hal ini adalah negara kota atau polis.
No comments:
Post a Comment